Pages

Labels

Senin, 26 Maret 2012

HIBERNASI


Rintik hujan luapkan segala kekesalan. Mencoba padamkan api yang berkobar disebentuk bola mata yang membara. Kegelisahan memunculkan aura negatif yang terpancar dari tubuh gemulai seorang wanita. Lady, menunggu, menanti sang Kesatria yang duduk di atas kuda nan gagah dengan pedang baja tersampir di baju besinya.
            Tatkala ia melihat ke langit, hujan, walau hanya rintik, namun tetap enggan tuk hentikan tangisnya. Di balik semua itu, para bunga, kodok, pepohonan, dan sungai bersorak riang, kegirangan. Kesempatan untuk bersenang-senang menghampiri dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Lupakan segala beban yang semakin berat, ikut luruh bersama rintikan air mata sang langit.
            Tapi tidak untuk Lady. Nyanyian sang pujangga semakin menyayat hatinya. Cacian angin yang menerpa membuatnya semakin sakit. Mengapa? Disaat Lady mendapatkan satu kebahagiaan, harus mengorbankan kebahagiaannya yang lain hingga takkan didapatnya bahagia nan sejati. Yang bisa buat ia tersenyum.
            Letih hati, jiwa, dan raganya hadapi ini semua. Membawanya ke dalam dunia hibernasi yang nyata.  Mendapati dirinya sendiri lagi di suatu taman tak berpenghuni.
            “Kesatria! Kesatria!” Teriak Lady.
Namun tetap Kesatria tak datang menghampirinya. Terduduk, tertunduk lemas. Menatap kedua lutut yang bergetar hebat. Air matanya jatuh. Mengalir bagai aliran air sungai melewati kali yang kering.
            Apa yang terjadi? Mengapa tak ada seorang pun yang dapat mendengar teriakannya? Apa yang membuatnya dihukum seperti ini?
“Kematian mungkin bisa mengakhiri hukuman dan kepenatan ini.”
Itulah yang terlintas di benak Lady. Tapi itu tak boleh terjadi. Lady sangat ingin bertemu dengan Kesatria yang jauh, pergi, dan tak kembali lagi yang belum pernah ditemuinya sekalipun. Hanya pesan-pesan singkat yang saling mereka kirim yang menandakan Kesatria benar-benar ada untuknya. Tapi salah! Kesatria bukan untuknya.
            Masih disini, menunggu tuk cinta yang abadi walau mungkin hanya dalam mimpi Lady.
            Kulihat ia, sang Kesatria ada di ujung sana. Menatap lurus ke arah ku. Dengan tatapannya yang meluluhlantakkan jiwa ku. Aku merasakan suatu harapan padaku di dalamnya. Tapi dia terlalu angkuh tuk ungkapkan, menunjukkan hatinya.
            Aku mengharapkan dirinya tuk datang padaku dengan membawa sebongkah rasa kasih sayang. Menambal hatiku yang berlubang. Tapi aku juga terlalu egois berkata bahwa aku memiliki rasa. Sayang... Dari awal ketika aku membaca tulisannya walau aku tidak tau siapa dia.
            Aku inginkan kamu datang. Suaramu begitu nyata terdengar di telingaku. Kumohon datanglah... Walau kedatangan mu hanya untuk ucapkan kata perpisahan padaku. Aku mau kamu, Kesatriaku, datang padaku...
            Namun Kesatria tetap pergi menjauh, dan semakin menjauh...
Prankkkk....
            Lampu itu pecah. Tersentak. Ternyata itu semua hanya mimpi. Bunga tidur yang tidak wangi dan begitu kelam. Kusam. Tapi begitu terasa. Tatapannya, suaranya, gerakannya, membuat Lady rindukan Kesatria.
            Namun Lady masih beruntung. Puri yang memenjarakannya dikelilingi oleh taman indah. Penuh dengan bunga-bunga. Rumput hijau yang wanginya menembus otak dan melegakan paru-paru.
            Lagi-lagi Lady tertidur. Beralaskan rumput dan beratapkan langit biru. Lady pasrah. Lelah menanti membuatnya ikhlas tuk relakan Kesatria yang pergi. Mencoba menutup diri dan membenci sesuatu yang tak pasti. Tak ingin dirinya dicintai, tak ingin dirinya dikasihi, tak ingin dirinya mencintai seorangpun jua.

***

”Lady...” Sayup-sayup suara itu memanggil. Semakin lama semakin jelas. Kesatria! Dia ada di hadapanku. Mengapa dia kembali? Aku telah lupakannya.
Disaat ku tak ingin melihat dan mengingatnya. Tiba-tiba air mataku mengalir deras. Ku tak ingin usahaku kan jadi sia. Pergi sana! Kuharap itu hanya bayangan. Namun ternyata dia benar-benar ada. Nyata!
            Dia datang, kembali mengisi kekosongan itu. Tanpa syarat dia hadir. Merentangkan tangan selebar-lebarnya tuk meraih kembali rasa itu. Rasa yang sempat hilang saat ia menjauh. Mengapa Kesatria kembali? Adakah maksud yang disiratkannya? Nyatakah ini?
            Lady tak ingin terlena. Mimpi itu kan selalu hanyutkan dirinya, raganya, jiwanya. Kemudian menghancurkannya dengan hempasan yang teramat kuat. Menjadikannya berkeping-keping layaknya cermin tua yang hancur tersentuh ujung tombak yang runcing. TIDAK! Aku tak ingin dihantui kehadirannya. Entah mengapa hibernasiku benar-benar menyesakkan dadaku. Atau dia benar-benar ada di hadapanku?
            Sepasang bola mata menatapku. Menentramkan. Dekat. Begitu dekat. Sadarkan Lady dari hibernasi sempurna. Di atas permadani hijau yang basah. Kuyupkan gaun kuning muda yang dikenakannya. Tangan itu menggamit jemari Lady dengan penuh kehangatan. Tanpa berkedip dia lumatkan bekunya hati tanpa menggiling halusnya.
            ”Mengapa engkau kembali???” Teriak Lady parau. Suara enggan membantu menjelaskan.
            Kesatria tersenyum manis. Semakin menjajah hatinya yang mulai miskin akan kasih. Sembari mengucapkan kalimat dari mulutnya yang terbebtuk sempurna.
            “Ku ambil cinta dari hatimu dan kan kujaga rasa itu hingga ku menjemputmu...”
PRANKKKK.....
            Kembali lampu pecah berserakan di lantai penuh debu yang menyelimut tebal. Hibernasi panjang...
“Kesatria
Kau hadirkanku dalam hibernasi
Sadarku mengatup jiwa
Dalam diamnya kata
Berbicara
Dalam cintanya ku terpaku
Di tiang hatiku...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar